uhibbukum fillah....

Minggu, 17 Juli 2011

jawaban anak dari ibunya

20Jawaban anak atas surat dari ibunya..
Kepada yang tercinta bundaku tersayang…
Segala puji bagi Alloh yang telah memuliakan kedudukan orang tua, dan menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga
Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi yang mulia, keluarga serta para Sahabatnya hingga hari kiamat, aamiin…
Ibu…
Aku terima suratmu yang engkau tulis dengan tetesan air mata dan duka, aku telah membacanya, semuanya, tidak ada satu huruf pun yang tersisa…
Tapi tahukah engkau ibu, aku membacanya semenjak selepas sholat isya, aku tutup pintu kamar, aku buka surat yang engkau tuliskan untukku, dan baru aku selesaikan mebacanya setelah ayam berkokok, setelah fajar telah terbit, dan adzan pertama telah dikumandangkan…
Sebenarnya lah surat yang engkau tulis tersebut jika ditaruh di atas batu tentu dia akan pecah, jika engkau letakkan di atas daun yang hijau tentu ia akan kering…
Sebenarnya lah surat yang engkau tulis tersebut tidak akan tertelan oleh rayap dan tidak akan termakan oleh waktu…
Sebenarnya lah wahai ibu bahwa suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan yang jika dipecutkan ke pohon yang besar dia akan rebah, dan terbakar…
Suratmu wahai ibu bagaikan awan kaum tsamud yang datang berarak, yang telah siap dimuntahkan kepadaku…
Ibu…
Aku telah baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti…
Bagaimana tidak, jika surat itu ditulis oleh seorang yang bukan ibu dan bukan pula ditujukan kepadaku, layaklah orang yang paling bebal untuk menangis sejadi-jadinya…
Bagaimana kiranya yang menulis itu adalah ibuku sendiri, yaitu engkau, dan surat itu ditujukan untukku sendiri…
Sungguh, aku sering membaca kisah sedih, tidak terasa bantal yang menjadi tempat bersandar telah basah karena air mata…
Bagaimana pula dengan surat yang ibu tulis itu, bukan cerita yang ibu karang, atau sebuah drama yang ibu perankan, akan tetapi dia adalah kenyataan hidup yang ibu rasakan…
Ibuku yang ku sayangi…
Sungguh berat cobaanmu, sungguh malang penderitaanmu, semua yang ibu sebutkan benar adanya…
Aku masih ingat saat engkau ditinggalkan ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku, ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang belanja…
Jadilah engkau mencari apa yang dapat dimasak di sekitar rumah dari dedauan dan tumbuhan…
Dengan langkah berat engkau berjalan ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil engkau membisikkan kepada penjual, bahwa apa yang engkau ambil tersebut adalah hutang, yang engkau sendiri tidak tahu kapan engkau akan melunasinya…
Ibu…
Aku masih ingat ketika kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan, engkau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yang telah engkau jemur dan engkau keringkan, tidak jarang pula engkau simpan untukku setelah sepulang sekolah, tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dengan segera…
Atau aku masih ingat engkau sengaja ambilkan air mendidih dari nasi yang sedang dimasak, ketika aku sedang dalam keadaan sakit demam…
Ibu…
Maafkanlah anakmu ini…
Aku tahu bahwa semenjak engkau gadis, sebagaimana yang diceritakan oleh nenek, sampai engkau telah tua seperti sekarang ini, engkau belum pernah mengecap kebahagiaan…
Duniamu hanya rumah serta halamannya, kehidupan mu hanya dengan anak-anakmu…
Belum pernah aku melihat engkau tertawa bahagia, kecuali ketika kami anak-anakmu datang ziarah kepadamu, selain dari itu tidak ada kebahagiaan…
Semua hidupmu adalah perjuangan, semua hari-harimu adalah pengorbanan…
Ibu…
Maafkanlah anakmu ini…
Semenjak engkau pilihkan untukku seorang istri, wanita yang telah engkau puji sifat dan akhlaknya, yang telah engkau sanjung suku dan negerinya, semenjak itu pula seakan-akan aku lupa denganmu wahai ibu…
Keberadaan dia sebagai istriku telah melupakan posisi engkau sebagai ibuku…
Senyuman serta sapaannya telah melupakanku dengan himbauanmu…
Ibu…
Aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, tidak, karena kewajibannya untuk menunaikan tanggungjawabnya sebagai istri…
Aku berharap dalam permasalahan ini engkau tidak membawa-bawa namanya, dan mengaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya…
Karena selama ini di mataku dia adalah istri yang baik, istri yang telah berupaya berbuat banyak untuk suami dan anak-anaknya, istri yang selalu untuk menyuruh berbuat taat dan berbakti kepada orang tua…
Ibu…
Ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita, maka seolah dia telah mendapatkan permaian baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka atau orang-orangan…
Maafkan aku ibu, aku tidaklah membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada padaku, anakmu ini…
Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yang aku alami, perubahan suasana yang telah engkau dan aku berpisah, tidak satu atap lagi…
Ibu…
Perkawinanku membuatku masuk ke alam dunia baru, dunia yang selama ini tidak pernah aku kenal, dunia yang hanya ada aku, istri, dan anak-anakku…
Bagaimana tidak, istri yang baik, anak-anak yang lucu, maafkan aku ibu, maafkan aku anakmu…
Aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dengan keadaan orang yang oenting bagiku, aku tidak peduli…
Yang penting bagiku adalah kedaan mereka, anak-anak dan istriku…
Ibu, maafkan aku anakmu…
Ampunkan aku anakmu…
Aku telah lalai, aku telah lupa, aku menyia-nyiakanmu…
Aku pernah mendengar kajian bahwa orang tua difitrahkan untuk cinta kepada anaknya, akan tetapi anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang tuanya…
Oleh sebab itu dilarang mencintai anak secara berlebihan, sebagaimana anak dilarang berbuat durhaka kepada orang tua…
Itulah yang terjadi pada diriku, anakmu…
Aku pasti akan gila jika melihat anakku sakit, aku seperti orang kebingungan ketika melihat anakku diare, tapi itu sulit aku rasakan jika hal itu terjadi padamu wahai ibu…
Ibu…
Sulit aku merasakan perasaanmu, sulit, kalaulah bukan karena bimbingan agama yang telah engkau ajarkan kepadaku, tentu, tentu aku telah seperti kebanyakan anak-anak yang durhaka pada orang tuanya…
Kalaulah bukan karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayah, niscaya aku tidak akan pernah mengenal arti bakti kepada orang tua…
Setelah suratmu datang aku baru mengerti, baru aku mengerti…
Karena selama ini hal itu tidak pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti permasalahan berat yang engkau hadapi selama ini, sekarang baru aku mengerti wahai ibu, bahwa hari yang sulit bagi seorang ibu adalah hari di mana anak laki-lakinya telah menikah dengan seorang wanita…
Wanita yang telah mendapat keberuntungan, bagaimana tidak, dia dapatkan seorang laki-laki yang telah matang pribadinya dan telah mapan ekonominya, dari seorang ibu yang telah letih membesarkannya, dari hidup ibu itulah dia dapatkan kematangan jiwa dan dari uang ibu itu pula dia dapatkan kematangan ekonomi…
Sekarang dengan ikhlash dia berikan kepada seorang wanita yang tidak ada hubungan dengannya, kecuali hubungan dua orang wanita yang saling berebut perhatian seorang laki-laki, dia sebagai anak dari ibunya, dan sebagai suami bagi istrinya…
Ibuku sayang…
Maafkan aku…
Ampunkan diriku…
Satu tetes air matamu adalah lautan api neraka bagiku…
Janganlah engkau menangis lagi, janganlah engkau berduka lagi, karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka…
Aku takut ibu, takut, kalau akan itu pula yang aku peroleh, kalau neraka pula yang aku dapatkan…
Izinkan aku membuang semua kebahagianku selama ini, demi hanya untuk menyeka air matamu…
Kalau akan pula engkau murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa semua yang aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau mau berbuat apa…
Sungguh ibu dari hati aku katakan, aku tidak mau masuk neraka, sekalipun aku memiliki kekuasaan fir’aun, dan kekayaan qorun, dan keahlian haman, niscaya tidak akan aku tukar dengan kesengsaraan di akhirat sekalipun sesaat…
Siapa pula yang tahan dengan adzab neraka wahai bunda…
Siapa pula yang tahan dengan adzab neraka wahai bunda…
Maafkan aku…
Maafkan aku anakmu wahai ibu…
Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduanmu kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala, bahwa engkau belum mau mengangkatnya ke langit, bahwa engkau belum lagi mau berdoa kepada Alloh akan kedurhakaanku, maka ampun wahai ibu…
Kalaulah itu yang terjadi, doa itu tersampaikan ke langit, salah pula ucap lisanmu, apalah jadinya nanti diriku, apalah jadinya nanti diriku…
Tentu aku akan menjadi tunggul yang tumbang disambar petir…
Apalah gunanya kemegahan sekiranya engaku doakan atasku kebinasaan, tentu aku akan menjadi pohon yang tidak akan berakar ke bumi dan dahanya tidak bisa sampai ke langit, di tengahnya di makan kumbang pula…
Kalaulah doamu terucap atasku wahai bunda, maka tidak ada lagi gunanya hidup, tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan…
Ibu…
Dalam sepanjang sejarah anak manusia yang kubaca, maka tidak ada anak yang berbahagia setelah kena kutuk orang tuanya, itu di dunia, maka aku tidak dapat bayangkan bagaimana nasibnya di akhirat, tentu ia lebih sengsara…
Ibu…
Setelah membaca suratmu baru aku menyadari kekhilafanku, kealfaan, dan kelalaianku…
Ibu…
Pastilah suratmu akan aku jadikan pegangan dalam hidupku, setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu akan kubaca ulang kembali, setiap kali aku lengah darimu akan aku talqinkan diriku dengannya, akan ku simpan dalam lubuk hatiku, sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku, akan aku sampaikan kepada anak keturunanku, bahwa ayah mereka dahulu pernah lalai dari berbakti, lalu ia sadar dan kembali kepada kebenaran, ayah mereka pernah berbuat salah sehingga ia telah menyakiti hati orang yang seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk…
Bunda…
Engkau berbicara tentang tua wahai bunda…
Siapa yang tidak mengalami ketuanan wahai ibu…
Burung elang yang terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di temapat yang tinggi, suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar dan diperebutkan oleh burung-burung kecil…
Singa, si raja hutan, yang selalu memangsa, jika telah tiba tua, dia akan dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan…
Tidak ada kekuasaan yang kekal, tidak ada kekayaan yang abadi, yang tersisa hanya amal baik atau amal buruk, yang akan dipertanggungjawabkan…
Ibu…
Doakan anakmu ini agar menjadi anak yang berbakti kepadamu di masa di mana banyak anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya…
Angkatlah ke langit munajatmu untukku agar aku peroleh kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat…
Ibu…
Sesampainya surat ku ini, insya Alloh tidak akan ada lagi air mata yang jatuh karena ulah anakmu, setelah ini tidak akan ada lagi kejauhan antara aku denganmu, bahagiamu adalah bahagiaku, kesedihanmu adalah kesedihanku, senyumanmu adalah senyumanku, tangismu adalah tangisku…
Aku berjanji untuk selalu berbakti kepadamu buat selamnya, dan aku berharap agar aku dapat membahagiakanmu selama mataku masih bisa berkedip…
Maka bahagiakanlah dirimu, bahagiakanlah dirimu, buanglah segala kesedihan, cobalah tersenyum…
Ini kami, aku, istri, dan anak-anakku sedang bersiap-siap untuk bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu, salam hangat dari anakmu yang durhaka…
Wallohu ta’ala a’lam…
(Dari VCD Kutitip surat ini untukmu, terbitan Radio Rodja (www.radiorodja.com) oleh Ustadz Armen Halim Naro Rohimahulloh, dengan perubahan)

Tidak ada komentar: